Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507.
Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 – 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
DESKRIPSI | KETERANGAN |
Nama | Kerajaan Aceh |
Ibukota | Bandar Aceh Darussalam (sekarang Banda Aceh)( 1496-1873) Keumala (1873-1903) |
Bahasa | Aceh, Melayu, Arab, Gayo, Alas |
Agama | Islam |
Bentuk Pemerintahan | Monarki absolut |
Sultan | 1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528) 2. Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1874-1903) |
DAFTAR ISI
1. SEJARAH AWAL2. KEHIDUPAN DI ACEH
3. KEJAYAAN KERAJAAN ACEH
4. PERANG ACEH
5. PEMERINTAH
6. RAJA RAJA KERAJAAN ACEH
7. RIWAYAT RAJA RAJA ACEH
8. PENINGGALAN KERAJAAN ACEH
9. KERUNTUHAN KERAJAAN ACEH
SEJARAH AWAL
Kerajaan Aceh merupakan kerajaan Islam yang muncul sebagai kekuatan baru di Selat Malaka, yakni muncul pada abad ke 16, setelah jatuh-nya Malaka ke tangan Portugis. Para pedagang Islam tidak mengakui kekuasaan Portugis di Selat Malaka dan segera memindahkan jalur perniagaan lainnya di seluruh wilayah Nusantara. Peran malaka sebagai pusat perdagangan Internasional digantikan oleh Kerajaan Aceh selama beberapa abad. Setelah aktivitas perdagangan dan pelayaran yang berlangsung di Kerajaan Aceh mengalami perkembangan serta sudah terjadi keramaian, kemudian perkembangan tersebut mempengaruhi beberapa bidang meliputi sosial, politik dan budaya.
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.
||TOP||
KEHIDUPAN DI ACEH
1. Kehidupan Ekonomi
Dalam kejayaannya, perekonomian Kerajaan Aceh bekembang pesat. Daerahnya yang subur banyak menghasilkan lada. Kekuasaan Aceh atas daerah – daerah pantai timur dan barat Sumatera menambah jumlah ekspor ladanya. Penguasaan Aceh atas beberapa daerah di Semenanjung Malaka menyebabkan bertambahnya badan ekspor penting timah dan lada. Aceh dapat berkuasa atas Selat Malaka yang merupakan jalan dagang internasional. Selain bangsa Belanda dan Inggris, bangsa asing lainnya seperti Arab, Persia, Turki, India, Siam, Cina, Jepang, juga berdagang dgn Aceh. Barang – barang yg di ekspor Aceh seperti beras, lada ( dari Minagkabau ), rempah – rempah ( dari Maluku ). Bahan impornya seperti kain dari Koromendal ( india ), porselin dan sutera ( dari Jepang dan Cina ), minyak wangi ( dari Eropa dan Timur Tengah ). Kapal – kapal Aceh aktif dalam perdagangan dan pelayaran sampai Laut Merah.
2. Kehidupan Sosial
Meningkatnya kemakmuran telah menyebabkan berkembangnya sistem feodalisme & ajaran agama Islam di Aceh. Kaum bangsawan yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan sipil disebut golongan Teuku, sedangkan kaum ulama yang memegang peranan penting dalam agama disebut golongan Teungku. Namun antara kedua golongan masyarakat itu sering terjadi persaingan yang kemudian melemahkan aceh. Sejak berkuasanya kerajaan Perlak ( abad ke-12 M s/d ke-13 M ) telah terjadi permusuhan antara aliran Syiah dgn Sunnah Wal Jamma’ah. Tetapi pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda aliran Syiah memperoleh perlindungan & berkembang sampai di daerah – daerah kekuasaan Aceh. Aliran ini di ajarkan oleh Hamzah Fasnsuri yang di teruskan oleh muridnya yang bernama Syamsudin Pasai. Sesudah Sultan Iskandar Muda wafat, aliran Sunnah wal Jama’ah mengembangkan islam beraliran Sunnah wal Jama’ah, ia juga menulis buku sejarah Aceh yang berjudul Bustanussalatin ( taman raja – raja dan berisi adat – istiadat Aceh beserta ajaran agama Islam ).
3. Kehidupan Budaya
Kejayaan yang dialami oleh kerajaan Aceh tersebut tidak banyak diketahui dalam bidang kebudayaan. Walupun ada perkembangan dalam bidang kebudaaan, tetapi tiadk sepesat perkembangan dalam ativitas perekonomian. Peninggalan kebuadayaan yang terlihat nyata adala Masjid Baiturrahman.
4. Kehidupan Politik Kerajaan Aceh
Berbicara mengenai kehidupan politik, Kerajaan Aceh pada awalnya didirikan oleh tokoh yang bernama Sultan Ali Mughayat Syah. Berdirinya kerajaan ini berlangsung pada tahun 1530 setelah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pidie pada tahun 1564. Kemudian Aceh di bawah pimpinan Sultan Alauddin (1537-1568) menyerang kerajaan Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri dan menentang Kerajaan Aceh.
Pada saat Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah datang pasukan Belanda yang dipimpin oleh “Cornelis de Houtman” untuk meminta izin bergabung di kerajaan ini. Selanjutnya, Sultan Ali Riayat pengganti dari sultan Alauddin, ia berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada masa inilah portugis melakukan penyerangan karena ingin melakukan monopoli perdagangan di Kerajaan Aceh, tetapi usaha ini tidak berhasil. Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607 sampai 1636, kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan diwilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Parimanam, Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).
||TOP||
KEJAYAAN KERAJAAN ACEH
Kerajaan Aceh mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Raja Sultan Iskandar Muda tepatnya pada tahun 1607-1636. Saat ia memerintah, Kerajaan Aceh berhasil mengalami peningkatan di beberapa aspek yaitu meliputi bidang ekonomi, politik, hubungan internasional, perdagangan, militer, dan perkembangan agama Islam. Selain itu, Aceh juga berhasil mendesak kedudukan Portugis di wilayah Selat Malaka akibat perkembangan yang berlangsung saat dipimpin oleh Iskandar Muda.
Dalam pemerintahan-nya, Sultan Iskandar memperluas wilayah teritorial-nya dan terus meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditas ekspor yang berpotensi bagi kemakmuran masyarakat Kerajaan Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan penghasil timah. bBahkan dimasa kepimpinannya, Kerajaan Aceh mampu menyerang kedudukan kerajaan Johor dan Melayu hingga Singapura tahun 1613 dan 1615.
Pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda kejayaan bisa dilihat dari politik luar negeri Kerajaan Aceh. Ia berhasil melakukan hubungan politik dengan bangsa Inggris, Turki, Belanda dan Francis. Iskandar Muda pernah mengirim utusan menuju ke Turki dengan membawa hadiah berupa lada 1 karung, langkah yang dilakukan tersebut kemudian dibalas dengan dengan diberikannya bantuan militer berupa tentara dan sebuah meriam.
Kemajuan bisa dilihat juga pada bidang
Sementara itu, kemajuan yang berhasil pada bidang Agama adalah Kerajaan Aceh berhasil melahirkan ulama yang cukup ternama. Karangan para ulama dijadikan rujukan, contohnya ulama Hamzah Fansuri pada bukunya. Selanjutnya kejayaan dalam bidang ekonomi, kerajaan ini berhasil melakukan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan bangsa lain seperti Arab, Turki, Mesir, India, Inggris, Francis, Jepang dan Cina. Komoditas yang di import secara lengkap yang terdapat pada Kitab Adat Aceh meliputi anggur, beras, gula, sekar lumat, kurma, guci, timah, tekstil, katun, besi, batik, kertas, kipas dan opium.
Sementara komoditas ekspornya yaitu lada, timah, saapan, damar, kayu cendana, gandaruken, obat-obatan, getah perca dan damar. Dibawah kendali Sultan Iskandar Muda Kerajaan Aceh berlangsung dengan lancar tentram dan aman. Kerajaan Aceh memiliki titik-titik sebagai pusat ekonomi, yaitu daerah pelabuhan yang terdapat di pantai timur, barat sampai selatan. Pusat perekonomian ini membuat kerajaan Aceh menjadi kaya, rakyatnya hidup makmur dan sejahtera. Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang.
Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya. Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
||TOP||
PERANG ACEH
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar habis-habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.
Pada 1879 dan 1898, Sultan Aceh kala itu, Muhammad Daud Syah II, meminta Rusia untuk memberikan status protektorat kepada Kesultanan Aceh dan membantunya melawan Belanda. Namun, permintaan sultan ditolak Rusia. Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.
||TOP||
PEMERINTAHAN
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibukota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar “Jiname Aceh” (mas kawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:
- Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang anggota-anggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
- Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Maiikul Adil, yang beranggolakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
- Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu’adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
- Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
- Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira Departemen Pertahanan.
- Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kirakira Departemen Kehakiman.
- Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.
Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan diantaranya
- Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan
- Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
- Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang; kira-kira Menteri Dalam Negeri.
- Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan pengembangan hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
- Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara.
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah ini diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Tiap daerah ini dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088–1098H = 1678–1688M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe.
Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):
- Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
- Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul ‘Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
- Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Masjid untuk melakukan shalat jumat sesuai mazhab Syafi’ie. Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas .
Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.
Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai berikut:
Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan daripada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.
— Sumpah Ulee Balang
Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh keturunannya hingga saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya, dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya. Diakhir sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat lima waktu, melakukan sembahyang Jum’at, mengeluarkan zakat, mendirikan masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.
||TOP||
RAJA RAJA KERAJAAN ACEH
Daftar Nama Raja-Raja Kerajaan Aceh Hingga Masa Jabatannya
- Sultan Ali Mughayat, memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1514-1528 Masehi.
- Sultan Salahuddin, memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1528-1537 Masehi.
- Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar, memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1537-1568 Masehi.
- Sultan Sri Alam, memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1575-1576 Masehi.
- Sultan Zain al-Abidin, memerintah Kerajaan Aceh tahun 1576-1577 Masehi.
- Sultan Ala’ al-Abidin, memerintah Kerajaan Aceh tahun 1577-1589 Masehi.
- Sultan Buyung, memerintah kerajaan Aceh pada tahun 1589-1596 Masehi.
- Sultan Ala’ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil, memerintah kerajaan Aceh pada tahun 1596-1604 Masehi.
- Sultan Ali Riayat Syah, memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1604-1607 Masehi.
- Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam, memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1607-1636 Masehi.
- Iskandar Thani, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1636-1641 Masehi.
- Sri Ratu Safi al-Din Taj al Alam, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1641-1675 Masehi.
- Sri Ratu Naqvi al-Din Nur al-Alam, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1641-1678 Masehi.
- Sri Ratu Zaqqi al-Din Inayat Syah, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1678-1688 Masehi.
- Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1688-1699
- Sultan Badr al-Alam S Hashim Jamal al-Din, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1699-1702 Masehi
- Sultan Perkasa Alam S L, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1702-1703 Masehi
- Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1703-1726 Masehi
- Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din 1726
- Sultan Shyam al-Alam, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1726-1727 Masehi.
- Sultan Ala‘ al-Din Ahmad S, 1727-1735 Masehi
- Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah, 1735-1760 Masehi
- Sultan Mahmud Syah memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1760-1781 Maehi.
- Sultan Badr al-Din memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1781-1785 Masehi.
- Sultan Sulaiman Siah, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1785-…
- Alauddin Muhammad Daud Syah.
- Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1795-1815 dan 1818-1824 Masehi.
- Sultan Syarif Saif al-Alam memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1815-1818 Masehi.
- Sultan Muhammad Syah, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1824-1838 Masehi.
- Sultan Sulaiman Siah, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1838-1857 Masehi.
- Sultan Mansur Syah memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1857-1870 Masehi.
- Sultan Mahmud Syah, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1870-1874 Masehi.
- Sultan Muhammad Daud Syah, memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1874-1903 Masehi.
||TOP||
RIWAYAT RAJA RAJA ACEH
1.Sultan Ali Mughayat Syah
Ali Mughayat Syah adalah raja pertama kerajaan Aceh. Ia memerintah dari tahun 1514-1528 M. dibawah kekuasaannya Kerajaan Aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatera Utara, seperti di daerah Daya dan Pasai. Bahkan ia mengadakan serangan terhadap kedudukan Portugis di Malaka serta menyerang kerajaan Aru.
Sultan Ali Mughayat Syah |
2.Sultan Salahudin
Setelah Sultan Ali Mughayat Syah meninggal, pemerintahan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Sultan Salahudin. Ia memerintah dari tahun 1528-1537 M. selama berkuasa, Sultan Salahudin kurang memperhatikan kerajaannya. Akibatnya, kerajaaan mulai goyah dan mengalami kemunduran oleh sebab itu pada tahun 1537 M sultan Salahudin digantikan saudaranya yang bernama Sultan Alaudin Riayat Syah.
Sultan Salahudin |
Sultan Alaudin Riayat Syah memerintah Aceh sejak tahun 1537-1568 M. dibawah pemerintahannya Aceh berkembang menjadi Bandar utama di Asia bagi pedagang Muslim mancanegara. Sejak Malaka direbut Portugis, mereka menghindari selat Malaka dan beralih menyusuri pesisir Barat Sumatera, ke selat Sunda, lalu terus ke timur Indonesia atau langsung ke Cina.
Sultan Alaudin Riayat Syah |
Kedudukan strategis Aceh menjadikan sevagai Bandar transit lada dari Sumatera dan rempah-rempah dari Maluku. Kedudukan itu bukan tanpa hambatan. Aceh harus menghadapi rongrongan Portugis. Guna memenangkan persaingan, Aceh membangun angkatan laut yang kuat. Kerajaan itupun membina hubungan diplomatic dengan turki ottoman yang dianggap memegang kedaulatan Islam tertinggi waktu itu.
4.Sultan Iskandar Muda
Pemerintahan Sultan Iskandar Muda menandai puncak kejayaan kerajaan Aceh. Ia naik tahta pada awal abad ke-17 menggantikan Sultan Alaudin Riayat Syah. Untuk memperkuat kedudukan Aceh sebagai pusat perdagangan Ia memelopori sejumlah tindakan sebagai berikut.
- Sultan Iskandar Muda merebut sejumlah pelabuhan penting di pesisir barat dan timur Sumatera, serta pesisir barat semenanjung melayu. Misalnya Aceh sempat menaklukan Johor dan Paahang
- Sultan Iskandar Muda menyerang kedudukan Portugis di Malaka dan kapal-kapalnya yang melalui selat Malaka. Aceh sempat memenangkan perang melawan armada Portugis di sekitar pulau Bintan pada tahun 1614.
- Sultan Iskandar Muda bekerjasama dengan Inggris dan Belanda untuk memperlemah pengaruh Portugis. Iskandar Muda mengizinkan persekutuan dagang kedua di negara itu untuk membuka kantornya di Aceh.
Sultan Iskandar Muda |
Berbeda dengan pendahulunya, Sultan Iskandar Thani lebih memperhatikan pembangunan dalam negeri dari pada politik ekspansi. Oleh sebab itu, meskipun hanya memerintah selama 4 tahun, Aceh mengalami suasana damai. Hukum yang berdasarkan syariat Islam ditegakkan, bukannya kekuasaan yang sewenang-wenang. Hubungan dengan wilayah taklukkan dijalan dengan suasana liberal, bukan tekanan politik atau militer.
Masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani juga ditandai oleh perhatian terhadap studi agama Islam. Berkembangnya studi Agama Islam turut didukung oleh Nuruddin Arraniri, seorang ulama besar dari Gujarat yang menulis buku sejarah Aceh yang berjudul Bustanu’s Salatin. Sepeninggalan Iskandar Thani, Aceh mengalami kemunduran. Aceh tidak mampu berbuat banyak saat sejumlah wilayah taklukan melepaskan diri. Kerajaan itupun tidak mampu lagi berperan sebagai pusat perdagangan. Meskipun demikian, kerajaan Aceh tetap berlanjut sampai memasuki abad ke-20.
Karena letaknya di jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan selat Malaka, kerjaan Aceh menitik beratkan perekonomiannnya pada bidang perdagangan. Dibawah pemerintahan sultan alaudin riayat syah, Aceh berkembang menjadi Bandar utama di Asia bagi para pedagang mancanegara, buakan hanya bangsa Inggris dan Belanda yang berdagang di pelabuhan Aceh, melainkan juga bangsa asing lain seperti arab, Persia, turki, india, syam, cina, dan jepang. Barang yang diperdagangkan dari Aceh, antara lain lada, beras, timah, emas, perak, dan rempah-rempah (dari Maluku). Orang yang berasal dari mancanegara (impor), antara lain dari Koromandel (India), Porselin dan sutera (Jepang dan Cina), dan minyak wangi dari (Eropa dan Timur Tengah). Selain itu, kapal pedagang Aceh aktif dalam melakukan perdagangan sampai ke laut merah.
Struktur sosial masyarakat Aceh terdiri atas empat golongan, yaitu golongan teuku (kaum bangsawan yang memegang kekuasaan pemerintahan sipil), golongan tengku (kaum ulama yang memegang peranan penting dalam keagamaan), hulubalang atau ulebalang (para prajurit), dan rakyat biasa. Antara golongan Tengku dan Teuku sering terjadi persaingan yang kemudian melemahkan Aceh. Sejak kerajaan Perlak berkuasa (abad ke-12M s/d abad ke-13M) telah terjadi permusuhan antara aliran Syi’ah dan Ahlusunnah wal jamaaah. Namun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, aliran Syi’ah mendapat perlindungan dan berkembang ke daerah kekuasaan Aceh.
Sultan Iskandar Thani |
Aliran itu diajarkan Hamzah Fansuri dan dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Syamsuddin Pasai. Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, aliran Ahlusunnah wal jamaah berkembang dengan pesat di Aceh. Kehidupan budaya di kerajaan Aceh tidak banyak diketahui karena kerajaan Aceh tidak banyak meninggal banda hasil budaya. Perkembangan kebudayaan di Aceh tidak terpusat perkembangan perekonomian. Perkembangan kebudayaan yang terlihat nyata adalah bangunan masjid Baiturrahman dan buku Bustanu’s Salatin yang ditulis oleh Nurrudin Ar-raniri yang berisi tentang sejarah raja-raja Aceh.
||TOP||
PENINGGALAN KERAJAAN ACEH
1.Masjid Raya Baiturrahman
Peninggalan Kerajaan Aceh yang pertama serta yang paling terkenal yaitu Masjid Raya Baiturrahman. Masjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda pada sekitar tahun 1612 Masehi ini terletak di pusat Kota Banda Aceh. Ketika agresi militer Belanda II, masjid ini pernah dibakar. Tetapi pada selang 4 tahun setelahnya, Belanda membangunnya kembali untuk meredam amarah rakyat Aceh yang akan berperang merebut syahid. Ketika bencana Tsunami menimpa Aceh pada 2004 lalu, masjid peninggalan sejarah Islam di Indonesia satu ini jadi pelindung untuk sebagian masyarakat Aceh. Kekokohan bangunannya tidak dapat digentarkan oleh sapuan ombak laut yang saat itu meluluhlantahkan kota Banda Aceh.
Masjid Raya Baiturrahman |
2.Taman Sari Gunongan
Taman Sari Gunongan yaitu salah satu peninggalan Kerajaan Aceh, setelah keraton (dalam) tak dapat terselamatkan karena pasukan Belanda yang menyerbu Aceh. Taman ini dibangun pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607-1636. Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kerajaan Pahang serta Kerajaan Johor di Semenanjung Malaka. Sultan Iskandar Muda jatuh cinta pada Putri Boyongan dari Pahang karena akhlakhnya yang sangat mempesona serta cantik parasnya, sampai pada akhirnya menjadikannya sebagai permaisuri. Karena cintanya yang sangat besar, Sultan Iskandar Muda bersedia untuk memenuhi keinginan Putri Boyongan untuk membangun sebuah taman sari yang indah yang dilengkapi dengan Gunongan.
Taman Sari Gunongan |
Masjid Indrapuri adalah bangunan tua berbentuk segi empat sama sisi. Mempunyai bentuk yang khas seperti candi, karena di masa lalu bangunan ini bekas benteng sekaligus candi Kerajaan Hindu yang lebih dulu menguasai Aceh. Pada tahun 1300 Masehi, diperkirakan pengaruh Islam di Aceh mulai menyebar dan perlahan-lahan penduduknya telah mengenal Islam. Pada akhirnya bangunan yang awalnya candi ini berubah fungsi menjadi masjid. Bangunan bekas candi ini dirubah jadi masjid pada masa Sultan Iskandar Muda yang berkuasa dari tahun 1607-1637 Masehi.
Masjid Tua Indrapuri |
Setelah Kerajaan Hindu, muncul Kerajaan Islam yang pada masa jayanya dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa ini, benteng masih dipakai sebagai tempat pertahanan melawan penjajah Portugis. Sultan Iskandar Muda memberi tugas pada Laksamana Malahayati, ia merupakan seorang laksamana perempuan pertama di dunia yang memimpin pasukan di wilayah pertahanan ini. Benteng ini merupakan benteng yang dibangun oleh Kerajaan Lamuri, yaitu sebuah Kerajaan Hindu pertama di Aceh. Walau pada akhirnya Islam mendominasi di Aceh, tetapi sultan serta ratu yang memimpin Aceh tak pernah berniat sekalipun menghancurkan jejak peninggalan nenek moyangnya.
Benteng Indrapatra |
5.Pinto Khop
Pinto Khop berada di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturahman, Kota Banda Aceh. Tempat ini adalah sejarah Aceh jaman dulu yang dibangun pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Selain itu, tempat ini juga adalah pintu penghubung antara istana serta taman putroe phang. Pinto khop ini merupakan pintu gerbang yang berbentuk kubah. Pinto khop ini juga adalah tempat beristirahat putri pahang jika telah selesai berenang, posisinya tak jauh dari gunongan. Nah, disanalah dayang-dayang membersihkan rambut permaisuri. Selain itu, di sana juga ada sebuah kolam yang dipakai permaisuri untuk mandi bunga.
Pinto Khop |
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa pembuat senjata serta teknisi dari Turki ke Aceh. Lalu Aceh menyerap kemampuan ini serta dapat memproduksi meriam sendiri dari kuningan. Perlu anda ketahui, meriam ini digunakan untuk mempertahankan Aceh dari serangan penjajah.
Meriam Kesultanan Aceh |
7.Hikayat Prang Sabi
Hikayat Prang Sabi merupakan suatu karya sastra dalam sastra Aceh yang berupa hikayat. Adapun isi dari hikayat ini yaitu membicarakan mengenai jihad. Karya sastra ini ditulis oleh para ulama yang berisi ajakan, nasehat, serta seruan untuk terjun ke medan jihad untuk menegakkan agama Allah dari serangan kaum kafir. Bisa jadi, mungkin saja hikayat inilah yang menghidupkan semangat juang rakyat Aceh dahulu untuk mengusir penjajah.
Hikayat Prang Sabi |
8.Makam Sultan Iskandar Muda
Peninggalan Kerajaan Aceh yang selanjutnya yaitu Makam dari Raja Kerajaan Aceh yang paling terkenal, Sultan Iskandar Muda. Makam yang terdapat di Kelurahan Peuniti, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh ini sangat kental dengan nuansa Islami. Ukiran serta pahatan kaligrafi pada batu nisannya sangat indah serta menjadi salah satu bukti sejarah masuknya Islam ke Indonesia.
Makam Sultan Iskandar Muda |
9.Uang Emas Kerajaan Aceh
Aceh ada di jalur perdagangan serta pelayaran yang sangat strategis. Berbagai komoditas yang datang dari penjuru Asia berkumpul di sana pada saat itu. Hal semacam ini membuat kerajaan Aceh tertarik untuk membuat mata uangnya sendiri.
Uang Emas Kerajaan Aceh |
Uang logam yang terbuat dari 70% emas murni inilalu dicetak lengkap dengan nama-nama raja yang memerintah Aceh. Koin ini masih sering ditemukan serta menjadi harta karun yang sangat diburu oleh beberapa orang. Koin ini dapat juga dianggap sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Aceh yang pernah berjaya pada masanya.
Salah Satu Kerajinan Logam di Aceh |
||TOP||
KERUNTUHAN KERAJAAN ACEH
Kerajaan Aceh mengalami masa keruntuhan disebabkan oleh beberapa faktor meliputi :
- Kematian Sultan Iskandar Muda pada tahun 1630, setelah kematian tersebut tidak ada lagi raja yang berhasil mengendalikan wilayah kerajaan Aceh yang sangat luas. Setelah kerajaan ini dipimpin oleh Sultan Iskandar Thani pada tahun 1637 sampai 1641, Kerajaan Aceh mulai mengalami kemunduran. Bahkan setelah Iskandar Thani kemunduran sangat terasa pada kerajaan ini.
- Munculnya pertikaian yang terjadi di Kerajaan Aceh yang berlangsung terus menerus antara golongan ulama dan bangsawan membuat kerajaan ini semakin melemah. Pertikaian yang terjadi disebabkan oleh perbedaan aliran keagamaan yaitu antara aliran Sunnah wal Jama’ah dan Syiah.
- Daerah kekuasaan Kerajaan Aceh semakin sedikit, hal ini karena daerah seperti Pahang, Johor, Siak dan Minangkabau melepaskan diri. Daerah yang memisahkan diri kemudian menjadi kerajaan yang merdeka dari kekuasaan aceh. Kemerdekaan tersebut juga ada yang berhasil dilakukan dengan bantuan asing dengan motif perdagangan. Selama kurang lebih 4 abad Kerajaan Aceh berkuasa, akhirnya mengalami keruntuhan pada awal abad ke 20 karena berhasil dikuasai oleh bangsa Belanda
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Perancis dengan mengirim surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas “Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan.” Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia.
Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
||TOP||
0 komentar: