Sejarah Kerajaan Sriwijaya Lengkap. Kerajaan Sriwijaya atau biasa disebut Srivijaya adalah salah satu kerajaan maritim yang kuat di wilayah pulau Sumatera dan memberi pengaruh banyak di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Thailand, Kamboja, Semenanjung Malaya, Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Didalam bahasa Sansekerta, sri artinya “bercahaya” dan wijaya artinya “kemenangan”.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.
Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya. Setelah keruntuhannya, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d’Extrême-Orient.
DESKRIPSI | DESKRIPSI |
Nama | Kerajaan Sriwijaya |
Ibukota | Palembang, Jawa, Kadaram, Dharmasraya |
Bahasa | Melayu Kuno |
Agama | Buddha Vajrayana, Mahayana, Buddha Hinayana, Hindu |
Sejarah Didirikan | 1. Didirikan Th 600-an 2. Invasa Dharmasraya Th 1100-an |
DAFTAR ISI
1. CATATAN SEJARAH2. PEMBENTUKAN DAN PERTUMBUHAN KERAJAAN SEJARAH
3. PUSAT SRIWIJAYA
4. PENAKLUKAN KAWASAN
5. MASA KEEMASAN
6. SRIWIJAYA BERKUASA DI JAWA
7. BERPERANG MELAWAN JAWA
8. AGAMA DAN BUDAYA
9. PERDAGANGAN
10. KEHIDUPAN POLITIK KERAJAAN SRIWIJAYA
11. STRUKTUR PEMERINTAHAN
12. RAJA TERKENAL KERAJAAN SRIWIJAYA
13. MASA PENURUNAN
14. PENINGGALAN KERAJAAN SRIWIJAYA
CATATAN SEJARAH
Tidak ditemukan catatan lebih lanjut mengenai Kerajaan Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang sudah terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia terkini yang mendengar mengenai sejarah Kerajaan Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès menyebarkan Penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia.
Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok dalam “San-fo-ts’i”, sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno bersumber pada kekaisaran yang sama.
Kerajaan Sriwijaya menjadi icon kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara di Jawa Timur selain Majapahit. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi rujukan oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwasanya Indonesia adalah satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Tertulis berbagai macam nama Sriwijaya. Orang Tionghoa menyebutnya San-fo-ts’i Shih-li-fo-shih atau atau San Fo Qi. Dalam bahasa Pali dan Sansekerta, kerajaan Sriwijaya disebut Javadeh dan Yavadesh. Khmer menyebutnya Malayu dan bangsa Arab menyebutnya Zabaj.
Banyaknya nama menjadi alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan mengenai adanya 3 pulau Sabadeibei yang dimungkinkan berkaitan dengan Sriwijaya.
Pierre-Yves Manguin melakukan observasi Sekitar tahun 1993 dan berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Sabokingking dan Seguntang (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang).
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya terletak pada wilayah sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di wilayah tersebut.
Jika Malayu pada wilayah tersebut, ia cendrung pada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah mengeluarkan pendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada wilayah Candi Muara Takus provinsi Riau sekarang), dengan perkiraan petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing.
Serta hal ini juga dapat dikaitkan denganadanya berita tentang pembangunan sebuah candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang diberi nama cheng tien wan shou (Candi Bungsu, sebagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukotakan di Kadaram (Kedah sekarang).
Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok dalam “San-fo-ts’i”, sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno bersumber pada kekaisaran yang sama.
Kerajaan Sriwijaya menjadi icon kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara di Jawa Timur selain Majapahit. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi rujukan oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwasanya Indonesia adalah satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Tertulis berbagai macam nama Sriwijaya. Orang Tionghoa menyebutnya San-fo-ts’i Shih-li-fo-shih atau atau San Fo Qi. Dalam bahasa Pali dan Sansekerta, kerajaan Sriwijaya disebut Javadeh dan Yavadesh. Khmer menyebutnya Malayu dan bangsa Arab menyebutnya Zabaj.
Banyaknya nama menjadi alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan mengenai adanya 3 pulau Sabadeibei yang dimungkinkan berkaitan dengan Sriwijaya.
Pierre-Yves Manguin melakukan observasi Sekitar tahun 1993 dan berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Sabokingking dan Seguntang (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang).
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya terletak pada wilayah sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di wilayah tersebut.
Jika Malayu pada wilayah tersebut, ia cendrung pada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah mengeluarkan pendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada wilayah Candi Muara Takus provinsi Riau sekarang), dengan perkiraan petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing.
Serta hal ini juga dapat dikaitkan denganadanya berita tentang pembangunan sebuah candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang diberi nama cheng tien wan shou (Candi Bungsu, sebagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukotakan di Kadaram (Kedah sekarang).
||TOP||
PEMBENTUKAN DAN PERTUMBUHAN KERAJAAN SEJARAH
Belum banyak bukti fisik mengenai Kerajaan Sriwijaya yang bisa ditemukan. Kerajaan ini merupakan negara maritim dan menjadi pusat perdagangan, namun kerajaan ini tidak meluaskan kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk sebuah populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di wilayah barat.
Beberapa ahli masih berselisih kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu bisa jadi kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota masih tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya dipimpin oleh datu setempat.
Sesuai dengan catatan I Tsing, Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak tahun 671, pada tahun 682 dari prasasti Kedukan Bukit di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Kedah dan Malayu menjadi bagian kekuasaan Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur pada tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, bagian selatan Sumatera ini telah dikuasai kemaharajaan Sriwijaya, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyatakan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan petualangan militer untuk menghukum Bumi Jawa yang tidak mau berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah dan Tarumanagara di Jawa Barat yang kemungkinan besar akibat diserang Sriwijaya.
Sriwijaya tumbuh dan sukses mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Sunda, Selat Malaka, Laut Jawa, Laut China Selatan, dan Selat Karimata. Ekspansi kerajaan ini ke Semenanjung Malaya dan Jawa, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan di Asia Tenggara.
Berdasarkan penelitian, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Kamboja dan Thailand. Pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina di abad ke-7, mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melakukan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina.
Kota Indrapura di wilayah tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai pendiri imperium Khmer, raja Khmer Jayawarman II, di abad yang sama memutuskan hubungan dengan Sriwijaya.
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Holing dan Tarumanegara berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, wangsa Sailendra pada masa ini pula bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, di semenanjung Melayu Langkasuka menjadi bagian kerajaan.
Di masa berikutnya, Trambralinga dan Pan Pan, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Kerajaan Sriwijaya. Setelah Dharmasetu, yang menjadi penerus kerajaan adalah Samaratungga. Ia berkuasa pada tahun 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih perkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, Samaratungga membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pembangunannya pada tahun 825.
Beberapa ahli masih berselisih kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu bisa jadi kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota masih tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya dipimpin oleh datu setempat.
Sesuai dengan catatan I Tsing, Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak tahun 671, pada tahun 682 dari prasasti Kedukan Bukit di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Kedah dan Malayu menjadi bagian kekuasaan Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur pada tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, bagian selatan Sumatera ini telah dikuasai kemaharajaan Sriwijaya, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyatakan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan petualangan militer untuk menghukum Bumi Jawa yang tidak mau berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah dan Tarumanagara di Jawa Barat yang kemungkinan besar akibat diserang Sriwijaya.
Sriwijaya tumbuh dan sukses mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Sunda, Selat Malaka, Laut Jawa, Laut China Selatan, dan Selat Karimata. Ekspansi kerajaan ini ke Semenanjung Malaya dan Jawa, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan di Asia Tenggara.
Berdasarkan penelitian, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Kamboja dan Thailand. Pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina di abad ke-7, mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melakukan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina.
Kota Indrapura di wilayah tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai pendiri imperium Khmer, raja Khmer Jayawarman II, di abad yang sama memutuskan hubungan dengan Sriwijaya.
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Holing dan Tarumanegara berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, wangsa Sailendra pada masa ini pula bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, di semenanjung Melayu Langkasuka menjadi bagian kerajaan.
Di masa berikutnya, Trambralinga dan Pan Pan, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Kerajaan Sriwijaya. Setelah Dharmasetu, yang menjadi penerus kerajaan adalah Samaratungga. Ia berkuasa pada tahun 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih perkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, Samaratungga membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pembangunannya pada tahun 825.
||TOP||
PUSAT SRIWIJAYA
Menurut Prasasti Kedukan Bukit, yang bertarikh 605 Saka (683 M), Kadatuan Sriwijaya pertama kali didirikan di sekitar Palembang, di tepian Sungai Musi. Prasasti ini menyebutkan bahwa Dapunta Hyang berasal dari Minanga Tamwan. Lokasi yang tepat dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan.
Teori Palembang sebagai tempat di mana Sriwijaya pertama kali bermula diajukan oleh Coedes dan didukung oleh Pierre-Yves Manguin. Selain Palembang, tempat lain seperti Muaro Jambi (Sungai Batanghari, Jambi) dan Muara Takus (pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kiri, Riau) juga diduga sebagai ibu kota Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.
Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektare. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktivitas manusia.
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak berada di kawasan tersebut. Jika Malayu berada pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang).
Dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Poerbatjaraka mendukung pendapat Moens.
Ia berpendapat bahwa Minanga Tamwan disamakan dengan daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Riau, tempat di mana Candi Muara Takus kini berdiri. Menurutnya, kata tamwan berasal dari kata “temu”, lalu ditafsirkannya “daerah tempat sungai bertemu”. Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).
Akan tetapi, pada tahun 2013, penelitian arkeologi yang digelar oleh Universitas Indonesia menemukan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi. Hal ini menunjukkan bahwa pusat awal Sriwijaya mungkin terletak di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi pada tepian sungai Batang Hari, dan bukanlah di Sungai Musi seperti anggapan sebelumnya.
Situs arkeologi mencakup delapan candi yang sudah digali, di kawasan seluas sekitar 12 kilometer persegi, membentang 7,5 kilometer di sepanjang Sungai Batang Hari, serta 80 menapo atau gundukan reruntuhan candi yang belum dipugar. Situs Muaro Jambi bercorak Buddha Mahayana-Wajrayana. Hal ini menunjukkan bahwa situs tersebut adalah pusat pembelajaran Buddhis, yang dikaitkan dengan tokoh cendekiawan Buddhis terkenal Suvarṇadvipi Dharmakirti dari abad ke-10. Catatan sejarah dari Tiongkok juga menyebutkan bahwa Sriwijaya menampung ribuan biksu.
Teori lain mengajukan pendapat bahwa Dapunta Hyang berasal dari pantai timur Semenanjung Malaya, bahwa Chaiya di Surat Thani, Thailand Selatan adalah pusat kerajaan Sriwijaya. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa nama kota Chaiya berasal dari kata “Cahaya” dalam bahasa Melayu. Ada pula yang percaya bahwa nama Chaiya berasal dari Sri Wijaya, dan kota ini adalah pusat Sriwijaya. Teori ini kebanyakan didukung oleh sejarahwan Thailand, meskipun secara umum teori ini dianggap kurang kuat.
Teori Palembang sebagai tempat di mana Sriwijaya pertama kali bermula diajukan oleh Coedes dan didukung oleh Pierre-Yves Manguin. Selain Palembang, tempat lain seperti Muaro Jambi (Sungai Batanghari, Jambi) dan Muara Takus (pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kiri, Riau) juga diduga sebagai ibu kota Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.
Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektare. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktivitas manusia.
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak berada di kawasan tersebut. Jika Malayu berada pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang).
Dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Poerbatjaraka mendukung pendapat Moens.
Ia berpendapat bahwa Minanga Tamwan disamakan dengan daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Riau, tempat di mana Candi Muara Takus kini berdiri. Menurutnya, kata tamwan berasal dari kata “temu”, lalu ditafsirkannya “daerah tempat sungai bertemu”. Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).
Akan tetapi, pada tahun 2013, penelitian arkeologi yang digelar oleh Universitas Indonesia menemukan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi. Hal ini menunjukkan bahwa pusat awal Sriwijaya mungkin terletak di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi pada tepian sungai Batang Hari, dan bukanlah di Sungai Musi seperti anggapan sebelumnya.
Situs arkeologi mencakup delapan candi yang sudah digali, di kawasan seluas sekitar 12 kilometer persegi, membentang 7,5 kilometer di sepanjang Sungai Batang Hari, serta 80 menapo atau gundukan reruntuhan candi yang belum dipugar. Situs Muaro Jambi bercorak Buddha Mahayana-Wajrayana. Hal ini menunjukkan bahwa situs tersebut adalah pusat pembelajaran Buddhis, yang dikaitkan dengan tokoh cendekiawan Buddhis terkenal Suvarṇadvipi Dharmakirti dari abad ke-10. Catatan sejarah dari Tiongkok juga menyebutkan bahwa Sriwijaya menampung ribuan biksu.
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (Warna Hijau) |
||TOP||
PENAKLUKAN KAWASAN
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Pada abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya.
Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Pada abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Pada masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.
Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Pada abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Pada masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.
||TOP||
MASA KEEMASAN
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak.
Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.
Hubungan dengan wangsa Sailendra
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera, maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa Melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India. Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa. Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno di antaranya prasasti Sojomerto.
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina.
Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.
Hubungan dengan wangsa Sailendra
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera, maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa Melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India. Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa. Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno di antaranya prasasti Sojomerto.
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina.
Arca Emas Avalokitecvara |
||TOP||
SRIWIJAYA BERKUASA DI JAWA
Wangsa Sailendra di Jawa membina dan memelihara persekutuan dengan trah Sriwijaya di Sumatera, dan kemudian selanjutnya mendirikan pemerintahan mereka di Kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.
Di Jawa, pewaris Dharanindra adalah Samaragrawira (memerintah 800—819), yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda (bertarikh 860) sebagai ayah dari Balaputradewa, dan putra dari Śailendravamsatilaka (perhiasan keluarga Śailendra) dengan nama gelaran Śrīviravairimathana (pembunuh perwira musuh), yang merujuk kepada Dharanindra.
Tidak seperti pendahulunya, Raja Dharanindra yang germar berperang, Rakai Warak tampaknya cenderung cinta damai, ia menikmati kemakmuran dan kedamaian Dataran Kedu di pedalaman Jawa, dan lebih tertarik untuk menyelesaikan proyek pembangunan candi Borobudur. Dia menunjuk seorang pangeran Khmer bernama Jayawarman sebagai gubernur Indrapura di delta Sungai Mekong di bawah kekuasaan Sailendra.
Keputusan ini terbukti sebagai kesalahan, karena Jayawarman kemudian memberontak, memindahkan ibukota lebih jauh ke pedalaman utara dari Tonle Sap ke Mahendraparwata, memutuskan ikatan dan memproklamasikan kemerdekaan Kamboja dari Jawa pada tahun 802. Rakai Warak disebut-sebut sebagai raja Jawa yang menikahi Tara, putri Dharmasetu dari Sriwijaya. Ia disebut dalam nama yang lainnya; Rakai Warak dalam Prasasti Mantyasih.
Sejarawan sebelumnya, seperti N. J. Krom, dan Coedes, cenderung menyamakan Rakai Warak dengan Samaratungga. Namun, sejarawan kemudian seperti Slamet Muljana menyamakan Samaratungga dengan Rakai Garung, yang disebutkan dalam Prasasti Mantyasih sebagai raja kelima kerajaan Mataram. Yang berarti Samaratungga adalah penerus dari Rakai Warak.
Dewi Tara, putri Dharmasetu, menikahi Samaratungga, seorang anggota keluarga Sailendra yang kemudian naik takhta Sriwijaya sekitar tahun 792. Pada abad ke-8 Masehi, istana Sriwijaya bertempat di Jawa, karena para raja dari wangsa Sailendra diangkat sebagai Maharaja Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi Maharaja Sriwijaya berikutnya. Dia memerintah sebagai penguasa pada kurun 792-835. Berbeda dari Dharmasetu yang ekpansionis, Samaratungga tidak terjun dalam kancah ekspansi militer, melainkan lebih suka untuk memperkuat pemerintahan dan pengaruh Sriwijaya atas Jawa.
Dia secara pribadi mengawasi pembangunan candi agung Borobudur; sebuah mandala besar dari batu yang selesai pada 825, pada masa pemerintahannya. Menurut George Coedes, “pada paruh kedua abad kesembilan, Jawa dan Sumatra bersatu di bawah kekuasaan wangsa Sailendra yang memerintah di Jawa… dengan pusat perdagangan di Palembang.”
Samaratungga seperti Rakai Warak, tampaknya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha Mahayana yang cinta damai. Beliau berusaha untuk menjadi seorang penguasa yang welas asih. Penggantinya adalah Putri Pramodhawardhani yang bertunangan dengan Rakai Pikatan yang menganut aliran Siwa.
Dia adalah putra Rakai Patapan, seorang rakai (penguasa daerah) yang cukup berpengaruh di Jawa Tengah. Langkah politik ini tampaknya sebagai upaya untuk mengamankan perdamaian dan kekuasaan Sailendra di Jawa, dengan cara mendamaikan hubungan antara golongan Buddha aliran Mahayana dengan penganut Hindu aliran Siwa.
Kembali Ke Palembang
Akan tetapi, Pangeran Balaputradewa menentang pemerintahan Pikatan dan Pramodhawardhani di Jawa Tengah. Hubungan antara Balaputra dan Pramodhawardhani ditafsirkan secara berbeda oleh beberapa sejarawan. Teori yang lebih tua menurut Bosch dan De Casparis menyatakan bahwa Balaputra adalah anak dari Samaratungga, yang berarti ia adalah adik dari Pramodhawardhani. Sejarawan dari angkatan kemudian, seperti Muljana, di sisi lain, berpendapat bahwa Balaputra adalah anak dari Rakai Warak dan adik dari Samaratungga, yang berarti dia adalah paman dari Pramodhawardhani.
Tidak diketahui secara jelas, apakah Balaputradewa tersingkir dari Jawa Tengah karena kalah dalam sengketa suksesi melawan Pikatan, atau dia memang sudah memerintah di Suwarnadwipa (Sumatera) sebelum pecahnya perselisihan mengenai suksesi kekuasaan ini.
Bagaimanapun, tampaknya wangsa Sailendra akhirnya terpecah menjadi dua; antara Jawa Tengah yang dikuasai Pikatan-Pramodhawardhani dan Palembang yang dikuasai Balaputradewa. Bahwa Balaputradewa akhirnya menguasai cabang Sumatera dari wangsa Sailendra dan bertahta di ibukota Sriwijaya dari Palembang.
Sebagian sejarawan berpendapat bahwa, hal ini karena ibunda Balaputra – Dewi Tara, permaisuri Raja Rakai Warak adalah putri dari Sriwijaya, hal ini menjadikan Balaputra sekaligus sebagai pewaris takhta Sriwijaya di Sumatera. Balaputradewa kemudian dinobatkan sebagai Maharaja Sriwijaya, kemudian dia menyatakan klaimnya sebagai pewaris sah wangsa Sailendra dari Jawa, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda yang bertarikh 860.
Di Jawa, pewaris Dharanindra adalah Samaragrawira (memerintah 800—819), yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda (bertarikh 860) sebagai ayah dari Balaputradewa, dan putra dari Śailendravamsatilaka (perhiasan keluarga Śailendra) dengan nama gelaran Śrīviravairimathana (pembunuh perwira musuh), yang merujuk kepada Dharanindra.
Tidak seperti pendahulunya, Raja Dharanindra yang germar berperang, Rakai Warak tampaknya cenderung cinta damai, ia menikmati kemakmuran dan kedamaian Dataran Kedu di pedalaman Jawa, dan lebih tertarik untuk menyelesaikan proyek pembangunan candi Borobudur. Dia menunjuk seorang pangeran Khmer bernama Jayawarman sebagai gubernur Indrapura di delta Sungai Mekong di bawah kekuasaan Sailendra.
Keputusan ini terbukti sebagai kesalahan, karena Jayawarman kemudian memberontak, memindahkan ibukota lebih jauh ke pedalaman utara dari Tonle Sap ke Mahendraparwata, memutuskan ikatan dan memproklamasikan kemerdekaan Kamboja dari Jawa pada tahun 802. Rakai Warak disebut-sebut sebagai raja Jawa yang menikahi Tara, putri Dharmasetu dari Sriwijaya. Ia disebut dalam nama yang lainnya; Rakai Warak dalam Prasasti Mantyasih.
Sejarawan sebelumnya, seperti N. J. Krom, dan Coedes, cenderung menyamakan Rakai Warak dengan Samaratungga. Namun, sejarawan kemudian seperti Slamet Muljana menyamakan Samaratungga dengan Rakai Garung, yang disebutkan dalam Prasasti Mantyasih sebagai raja kelima kerajaan Mataram. Yang berarti Samaratungga adalah penerus dari Rakai Warak.
Dewi Tara, putri Dharmasetu, menikahi Samaratungga, seorang anggota keluarga Sailendra yang kemudian naik takhta Sriwijaya sekitar tahun 792. Pada abad ke-8 Masehi, istana Sriwijaya bertempat di Jawa, karena para raja dari wangsa Sailendra diangkat sebagai Maharaja Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi Maharaja Sriwijaya berikutnya. Dia memerintah sebagai penguasa pada kurun 792-835. Berbeda dari Dharmasetu yang ekpansionis, Samaratungga tidak terjun dalam kancah ekspansi militer, melainkan lebih suka untuk memperkuat pemerintahan dan pengaruh Sriwijaya atas Jawa.
Dia secara pribadi mengawasi pembangunan candi agung Borobudur; sebuah mandala besar dari batu yang selesai pada 825, pada masa pemerintahannya. Menurut George Coedes, “pada paruh kedua abad kesembilan, Jawa dan Sumatra bersatu di bawah kekuasaan wangsa Sailendra yang memerintah di Jawa… dengan pusat perdagangan di Palembang.”
Samaratungga seperti Rakai Warak, tampaknya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha Mahayana yang cinta damai. Beliau berusaha untuk menjadi seorang penguasa yang welas asih. Penggantinya adalah Putri Pramodhawardhani yang bertunangan dengan Rakai Pikatan yang menganut aliran Siwa.
Dia adalah putra Rakai Patapan, seorang rakai (penguasa daerah) yang cukup berpengaruh di Jawa Tengah. Langkah politik ini tampaknya sebagai upaya untuk mengamankan perdamaian dan kekuasaan Sailendra di Jawa, dengan cara mendamaikan hubungan antara golongan Buddha aliran Mahayana dengan penganut Hindu aliran Siwa.
Kembali Ke Palembang
Akan tetapi, Pangeran Balaputradewa menentang pemerintahan Pikatan dan Pramodhawardhani di Jawa Tengah. Hubungan antara Balaputra dan Pramodhawardhani ditafsirkan secara berbeda oleh beberapa sejarawan. Teori yang lebih tua menurut Bosch dan De Casparis menyatakan bahwa Balaputra adalah anak dari Samaratungga, yang berarti ia adalah adik dari Pramodhawardhani. Sejarawan dari angkatan kemudian, seperti Muljana, di sisi lain, berpendapat bahwa Balaputra adalah anak dari Rakai Warak dan adik dari Samaratungga, yang berarti dia adalah paman dari Pramodhawardhani.
Tidak diketahui secara jelas, apakah Balaputradewa tersingkir dari Jawa Tengah karena kalah dalam sengketa suksesi melawan Pikatan, atau dia memang sudah memerintah di Suwarnadwipa (Sumatera) sebelum pecahnya perselisihan mengenai suksesi kekuasaan ini.
Bagaimanapun, tampaknya wangsa Sailendra akhirnya terpecah menjadi dua; antara Jawa Tengah yang dikuasai Pikatan-Pramodhawardhani dan Palembang yang dikuasai Balaputradewa. Bahwa Balaputradewa akhirnya menguasai cabang Sumatera dari wangsa Sailendra dan bertahta di ibukota Sriwijaya dari Palembang.
Sebagian sejarawan berpendapat bahwa, hal ini karena ibunda Balaputra – Dewi Tara, permaisuri Raja Rakai Warak adalah putri dari Sriwijaya, hal ini menjadikan Balaputra sekaligus sebagai pewaris takhta Sriwijaya di Sumatera. Balaputradewa kemudian dinobatkan sebagai Maharaja Sriwijaya, kemudian dia menyatakan klaimnya sebagai pewaris sah wangsa Sailendra dari Jawa, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda yang bertarikh 860.
||TOP||
BERPERANG MELAWAN JAWA
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama She-po.
Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan She-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.
Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera.
Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu. (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.
Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan She-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.
Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera.
Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu. (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.
||TOP||
AGAMA DAN BUDAYA
Sebagai pusat pengajaran Agama Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari berbagai negara di Asia. Antara lain I Tsing seorang pendeta dari Tiongkok, yang melakukan ekspansi ke Sumatera dalam perjalanan belajarnya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, dan di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Buddha dari Benggala yang berperan dalam perkembangan Buddha Vajrayana di Tibet.
I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya sebagai rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi sebuah pusat pembelajaran agama Buddha. Pelancong yang datang ke pulau ini menyatakan bahwa koin emas telah dipergunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha Mahayana dan Buddha Hinayana juga turut berkembang di Sriwijaya.
budaya India banyak mempengaruhi Kerajaan Sriwijaya, diawali oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya berhasil menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung ikut serta mengembangkan kebudayaan Melayu beserta bahasanya di Nusantara.
Sangat memungkinkan bahwa Sriwijaya yang terkenal sebagai pusat bandar perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat dari para pedagang dan ulama muslim dari wilayah Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang awalnya merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh berkembang menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya kekuasaan Sriwijaya.
Ada sumber yang menyatakan, karena adanya pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka pada tahun 718 Sri Indrawarman raja Sriwijaya memeluk Islam. Sehingga sangat memungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya ialah masyarakat sosial yang di dalamnya ada masyarakat Muslim dan Budha sekaligus.
Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya mengirimkan surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu teks berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke istana Sriwijaya, surat itu ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M).
I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya sebagai rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi sebuah pusat pembelajaran agama Buddha. Pelancong yang datang ke pulau ini menyatakan bahwa koin emas telah dipergunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha Mahayana dan Buddha Hinayana juga turut berkembang di Sriwijaya.
budaya India banyak mempengaruhi Kerajaan Sriwijaya, diawali oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya berhasil menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung ikut serta mengembangkan kebudayaan Melayu beserta bahasanya di Nusantara.
Sangat memungkinkan bahwa Sriwijaya yang terkenal sebagai pusat bandar perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat dari para pedagang dan ulama muslim dari wilayah Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang awalnya merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh berkembang menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya kekuasaan Sriwijaya.
Ada sumber yang menyatakan, karena adanya pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka pada tahun 718 Sri Indrawarman raja Sriwijaya memeluk Islam. Sehingga sangat memungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya ialah masyarakat sosial yang di dalamnya ada masyarakat Muslim dan Budha sekaligus.
Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya mengirimkan surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu teks berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke istana Sriwijaya, surat itu ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M).
||TOP||
PERDAGANGAN
Di dalam dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi penguasa dalam mengendalikan jalur perdagangan antara Tiongkok dan India, yakni dengan penguasaan atas selat Sunda dan selat Malaka. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya mempunyai aneka komoditi seperti kayu gaharu, kapur barus, kepulaga cengkeh, pala,, gading, timah, dan emas, yang membuat raja Sriwijaya kaya seperti raja-raja di India.
Kekayaan yang amat banyak ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara jatuhnya dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup heboh, terutama Fujian, negeri kaya Guangdong, kerajaan Min, dan kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya merauk keuntungan dari perdagangan ini.
Kekayaan yang amat banyak ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Perdagangan di Sriwijaya Masa Dulu |
||TOP||
KEHIDUPAN POLITIK KERAJAAN SRIWIJAYA
Untuk memperkuat posisi kekuasaannyanya atas penguasaan kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan sering mengantarkan utusan beserta upeti.
Pada masa pertama kerajaan Khmer adalah daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengaku bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan Khmer, pengaruh Sriwijaya terlihat pada bangunan pagoda Borom That yang arsitektur Sriwijaya. Setelah Sriwijaya jatuh, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yaitu (Mueang) Chaiya, Khirirat Nikhom, dan Thatong (Kanchanadit).
Sriwijaya juga ada hubungan dekat dengan kerajaan Pala dari Benggala, pada prasasti Nalanda mencatat bahwasanya raja Balaputradewa memberikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda.
Hubungan dengan dinasti Chola di selat India juga cukup baik, dari prasasti Leiden mencatat bahwa raja Sriwijaya telah membangun vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11 hubungan antara Sriwijaya dan raja Balaputradewa menjadi buruk.
Kemudian pada masa Kulothunga Chola I hubungan ini kembali membaik, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirim utusan yang meminta diikrarkannya pengumuman pembebasan cukai di kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut.
Namun pada masa ini Sriwijaya dicap telah menjadi bagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok disebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts’i pada tahun 1079 ikut serta membantu perbaikan candi di dekat Kanton, pada masa dinasti Song candi ini dijuluki dengan nama Tien Ching Kuan sedangkan pada masa dinasti Yuan dijuluki dengan nama Yuan Miau Kwan.
Pada masa pertama kerajaan Khmer adalah daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengaku bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan Khmer, pengaruh Sriwijaya terlihat pada bangunan pagoda Borom That yang arsitektur Sriwijaya. Setelah Sriwijaya jatuh, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yaitu (Mueang) Chaiya, Khirirat Nikhom, dan Thatong (Kanchanadit).
Sriwijaya juga ada hubungan dekat dengan kerajaan Pala dari Benggala, pada prasasti Nalanda mencatat bahwasanya raja Balaputradewa memberikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda.
Hubungan dengan dinasti Chola di selat India juga cukup baik, dari prasasti Leiden mencatat bahwa raja Sriwijaya telah membangun vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11 hubungan antara Sriwijaya dan raja Balaputradewa menjadi buruk.
Kemudian pada masa Kulothunga Chola I hubungan ini kembali membaik, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirim utusan yang meminta diikrarkannya pengumuman pembebasan cukai di kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut.
Namun pada masa ini Sriwijaya dicap telah menjadi bagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok disebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts’i pada tahun 1079 ikut serta membantu perbaikan candi di dekat Kanton, pada masa dinasti Song candi ini dijuluki dengan nama Tien Ching Kuan sedangkan pada masa dinasti Yuan dijuluki dengan nama Yuan Miau Kwan.
||TOP||
STRUKTUR PEMERINTAHAN
Pembentukan negara satu kesatuan dalam ukuran struktur kekuasaan politik Sriwijaya, dapat dilcari dari beberapa prasasti yang di dalamnya mengandung info penting tentang mandala, kadātuan, samaryyāda, vanua, dan bhūmi.
Kadātuan dapat diartikan kawasan dātu, (tanah rumah) tempat tinggal, tempat mas disimpan dan hasil cukai (drawy) sebagai wilayah yang harus dijaga. Kadātuan ini dikelilingi vanua, yang bisa dianggap sebagai wilayah kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terkandung vihara untuk tempat beribadah untuk masyarakatnya.
Vanua dan Kadātuan ini merupakan suatu wilayah inti bagi Kerajaan Sriwijaya. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan wilayah yang bersebrangan dengan vanua, yang terhubung ke jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat dimaksudkan kawasan pedalaman. Sedangkan mandala adalah suatu kawasan yang berdiri sendiri dari bhūmi yang berada dalam kontrol kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Maharaja atau Dapunta Hyang, dan dalam silsilah raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menuturkan berbagai jabatan dalam susunan pemerintahan kerajaan di masa Sriwijaya.
Kadātuan dapat diartikan kawasan dātu, (tanah rumah) tempat tinggal, tempat mas disimpan dan hasil cukai (drawy) sebagai wilayah yang harus dijaga. Kadātuan ini dikelilingi vanua, yang bisa dianggap sebagai wilayah kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terkandung vihara untuk tempat beribadah untuk masyarakatnya.
Vanua dan Kadātuan ini merupakan suatu wilayah inti bagi Kerajaan Sriwijaya. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan wilayah yang bersebrangan dengan vanua, yang terhubung ke jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat dimaksudkan kawasan pedalaman. Sedangkan mandala adalah suatu kawasan yang berdiri sendiri dari bhūmi yang berada dalam kontrol kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Maharaja atau Dapunta Hyang, dan dalam silsilah raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menuturkan berbagai jabatan dalam susunan pemerintahan kerajaan di masa Sriwijaya.
||TOP||
RAJA TERKENAL KERAJAAN SRIWIJAYA
Raja-raja yang diketahui pernah menjabat sebagai Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai berikut:
1. Raja Daputra Hyang: Cerita mengenai raja Daputra Hyang ditemukan melalui prasasti Kedukan Bukit (683 M). Pada masa kekuasaannya, Raja Dapunta Hyang telah sukses memperluas daerah kekuasaannya sampai ke tanah Jambi. Sedari awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang bercita-cita supaya Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
2. Raja Dharmasetu: Pada masa kekuasaan Raja Dharmasetu, Kerajaan Sriwijaya meluas sampai ke wilayah Semenanjung Malaya. Bahkan, Kerajaan Sriwijaya disana membangun sebuah pangkalan di wilayah Ligor. Selain itu, Kerajaan Sriwijaya juga sanggup menjalin hubungan dengan Negri India dan China. Setiap kapal yang melayar dari China dan India selalu mampir di Bandar-bandar Sriwijaya.
Raja Balaputradewa: Berita mengenai raja Balaputradewa awal diketahui dari catatan Prasasi Nalanda. Raja Balaputradewa menjabat sekitar abad ke-9, pada masa kekuasaannya, kerajaan Sriwijaya berkembang cepat menjadi kerajaan besar dan menjadi sebuah pusat agama Buddha di Asia Tenggara.
Ia menjalin sebuah hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di India seperti Cola dan Nalanda. Balaputradewa merupakan keturunan dari dinas Syailendra, yaitu putra dari Raja Samaratungga dengan Dewi Tara dari kerajaan Sriwijaya.
3.Raja Sri Sudamaniwarmadewa: Pada masa kekuasaan Raja Sri Sudamaniwarmadewa, Kerajaan Sriwijaya pernah mengalami serangan dari Raja Darmawangsa dari Jawa Timur. Tapi, serangan tersebut berhasil digagalkan oleh para tentara Sriwijaya.
4.Raja Sanggrama Wijayattunggawarman: Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Sriwijaya mengalami sebuah serangan dari Kerajaan Chola. Yang dipimpin oleh Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola membuat serangan dan sukses merebut Kerajaan Sriwijaya. Sanggrana Wijayattunggawarman akhirnya ditahan. Tapi pada masa kekuasaan Raja Kulottungga I Kerajaan Chola, Raja Sanggrama Wijayattunggawarman kemudian dibebaskan.
5.Dapunta Hyang Sri Jayanasa
6.Sri Indravarman
7.Rudra Vikraman
8.Maharaja WisnuDharmmatunggadewa
9.Dharanindra Sanggramadhananjaya
10.Samaratungga
11.Samaragrawira
12.Balaputradewa
13.Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
14.Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
15.Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi
16.Hie-tche (Haji)
17.Sumatrabhumi
18.Sangramavijayottungga
19.Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
20.Rajendra II
21.Rajendra III
22.Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
23.Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
24.Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.
1. Raja Daputra Hyang: Cerita mengenai raja Daputra Hyang ditemukan melalui prasasti Kedukan Bukit (683 M). Pada masa kekuasaannya, Raja Dapunta Hyang telah sukses memperluas daerah kekuasaannya sampai ke tanah Jambi. Sedari awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang bercita-cita supaya Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
2. Raja Dharmasetu: Pada masa kekuasaan Raja Dharmasetu, Kerajaan Sriwijaya meluas sampai ke wilayah Semenanjung Malaya. Bahkan, Kerajaan Sriwijaya disana membangun sebuah pangkalan di wilayah Ligor. Selain itu, Kerajaan Sriwijaya juga sanggup menjalin hubungan dengan Negri India dan China. Setiap kapal yang melayar dari China dan India selalu mampir di Bandar-bandar Sriwijaya.
Raja Balaputradewa: Berita mengenai raja Balaputradewa awal diketahui dari catatan Prasasi Nalanda. Raja Balaputradewa menjabat sekitar abad ke-9, pada masa kekuasaannya, kerajaan Sriwijaya berkembang cepat menjadi kerajaan besar dan menjadi sebuah pusat agama Buddha di Asia Tenggara.
Ia menjalin sebuah hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di India seperti Cola dan Nalanda. Balaputradewa merupakan keturunan dari dinas Syailendra, yaitu putra dari Raja Samaratungga dengan Dewi Tara dari kerajaan Sriwijaya.
3.Raja Sri Sudamaniwarmadewa: Pada masa kekuasaan Raja Sri Sudamaniwarmadewa, Kerajaan Sriwijaya pernah mengalami serangan dari Raja Darmawangsa dari Jawa Timur. Tapi, serangan tersebut berhasil digagalkan oleh para tentara Sriwijaya.
4.Raja Sanggrama Wijayattunggawarman: Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Sriwijaya mengalami sebuah serangan dari Kerajaan Chola. Yang dipimpin oleh Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola membuat serangan dan sukses merebut Kerajaan Sriwijaya. Sanggrana Wijayattunggawarman akhirnya ditahan. Tapi pada masa kekuasaan Raja Kulottungga I Kerajaan Chola, Raja Sanggrama Wijayattunggawarman kemudian dibebaskan.
5.Dapunta Hyang Sri Jayanasa
6.Sri Indravarman
7.Rudra Vikraman
8.Maharaja WisnuDharmmatunggadewa
9.Dharanindra Sanggramadhananjaya
10.Samaratungga
11.Samaragrawira
12.Balaputradewa
13.Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
14.Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
15.Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi
16.Hie-tche (Haji)
17.Sumatrabhumi
18.Sangramavijayottungga
19.Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
20.Rajendra II
21.Rajendra III
22.Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
23.Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
24.Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.
||TOP||
MASA PENURUNAN
Serbuan kerajaan Chola
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman.
Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts’i ke Cina tahun 1028.
Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang. Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.
Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.
Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts’i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton.
Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.
Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088. Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Munculnya Malayu Dharmasraya
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina. Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa).
Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t’ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts’ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t’o (Sunda).
Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan.
Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi.
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman.
Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts’i ke Cina tahun 1028.
Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang. Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.
Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.
Sebuah Lukisan Dari Siam Menunjukkan Penyerangan Chola di Kedah |
Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.
Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088. Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Munculnya Malayu Dharmasraya
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina. Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan Cho-po (Jawa).
Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t’ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts’ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t’o (Sunda).
Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan.
Reruntuhan Wat (Candi) Kaew Yang Berasal Dari Zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan |
||TOP||
PENINGGALAN KERAJAAN SRIWIJAYA
Walaupun Sriwijaya cuma tersisa sedikit peninggalan arkeologi dan juga terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali mengenai kemaharajaan bahari ini oleh Coedès di tahun 1920-an telah menghidupkan kesadaran bahwa dalam bentuk persatuan politik raya berbentuk kemaharajaan yang terdiri atas perpecahan kerajaan-kerajaan bahari, dulu pernah tumbuh, bangkit, dan berjaya di masa lalu.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang dicatat dalam sejarah Dinasti Tang dikatakan jika di abad ke-7, pantai Timur Sumatera Selatan sudah berdiri Kerajaan Sriwijaya atau She-li-fo-she dan sumber ini diperoleh dari 6 buah prasasti yang ditemukan tersebar di wilayah Sumatera bagian Selatan dan juga Pulau Bangka dan Belitung.
1.Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur yang merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan di Pulau Bangka bagian Barat yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno serta aksara Pallawa. Prasasti ini ditemukan oleh J.K Van der Meulen tahun 1892 dengan isi yang menceritakan tentang kutukan untuk orang yang berani melanggar titah atau pertintah dari kekuasaan Raja Sriwijaya.
Prasasti ini kemudian diteliti oleh H.Kern yang merupakan ahli epigrafi berkebangsaan Belanda yang bekerja di Bataviaasch Genootschap di Batavia. Awalnya ia beranggapan jika Sriwijaya merupakan nama dari seorang raja. George Coedes lalu mengungkapkan jika Sriwijaya adalah nama dari Kerajaan di Sumatera abad ke-7 Masehi yang mrupakan Kerajaan kuat dan pernah berkuasa di bagian Barat Nusantara, Semenanjung Malaya serta Thailand bagian Selatan.
Sampai tahun 2012, Prasasti Kota Kapur ini masih ada di Rijksmuseum yang merupakan Museum Kerajaan Amsterdam, Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia. Prasasti Kota Kapur ini ditemukan lebih dulu sebelum prasasti Kedukan Bukit serta Prasasti Talang Tuwo. Dari Prasasti ini Sriwijaya diketahui sudah berkuasa atas sebagian wilayah Sumatera, Lampung, Pulau Bangka dan juga Belitung.
Dalam Prasasti ini juga dikatakan jika Sri Jayasana sudah melakukan ekspedisi militer yakni untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak mau tunduk dengan Sriwijaya. Peristiwa ini terjadi hampir bersamaan dengan runtuhnya Taruma di Jawa bagian Barat dan juga Kalingga atau Holing di daerah Jawa bagian Tengah yang kemungkinan terjadi karena serangan dari Sriwijaya. Sriwijaya berhasil tumbuh serta memegang kendali atas jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa serta Selat Karimata.
2. Prasasti Ligor
Prasasti Ligor ditemuan di Nakhon Si Thammarat, wilayah Thailand bagian Selatan yang memiliki pahatan di kedua sisinya. Pada bagian sisi pertama dinamakan Prasasti Ligor A atau manuskrip Viang Sa, sementara di sisi satunya merupakan Prasasti Ligor B yang kemungkinan besar dibuat oleh raja dari wangsa Sailendra yang menjelaskan tentang pemberian gelar Visnu Sesawarimadawimathana untuk Sri Maharaja.
Prasasti Ligor A menceritakan tentang Raja Sriwijaya yang merupakan raja dari semua raja di dunia yang mendirikan Trisamaya Caitya untuk Kajara. Sedangkan pada Prasasti Ligor B yang dilengkapi dengan angka tahun 775 dan memakai aksara Kawi menceritakan tentang nama Visnu yang memiliki gelar Sri Maharaja dari keluarga Śailendravamśa dan mendapatk julukan Śesavvārimadavimathana berarti pembunuh musuh yang sombong sampai tak tersisa.
3.Prasasti Palas Pasemah
Prasasti Palas Pasemah ditemukan di pinggir rawa Desa Palas Pasemah, Lampung Selatan, Lampung yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno aksara Pallawa dan terdiri dari 13 baris tulisan. Isi dari prasasti ini menjelaskan tentang kutukan dari orang yang tidak mau tunduk dengan kekuasaan Sriwijaya. Jika dilihat dari aksara, Prasasti Palas Pasemah ini diduga berasal dari abad ke-7 Masehi.
4.Prasasti Hujung Langit
Prasasti Hujung Langit merupakan Prasasti dari Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada sebuah desa bernama Desa Haur Kuning, Lampung dan juga ditulis dalam bahasa Melayu Kuno serta aksara Pallawa. Isi dari prasasti ini tidak terlalu jelas sebab kerusakan yang terjadi sudah cukup banyak, namun diperkirakan berasal dari tahun 997 Masehi dan isinya tentang pemberian tanah Sima.
5.Prasasti Telaga Batu
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya adalah prasasti telaga batu. Prasasti Telaga Batu ditemukan di kolam Telaga Biru, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Kota Palembang tahun 1935 yang berisi tentang kutukan untuk mereka yang berbuat jahat di kedautan Sriwijaya dan kini disimpan pada Museum Nasional Jakarta.
Di sekitar lokasi penemuan Prasasti Telaga Batu ini juga ditemukan Prasasti Telaga Batu 2 yang menceritakan tentang keberadaam sebuah vihara dan pada tahun sebelumnya juga ditemukan lebih dari 30 buah Prasasti Siddhayatra yang juga sudah disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahat di batu andesit dengan tinggi 118 cm serta lebar 148 cm.
Pada bagian atas prasasti ada hiasan 7 buah kepala ular kobra serta di bagian tengah terdapat pancuran tempat mengalirnya air pembasuh. Tulisan pada prasasti ini memiliki 28 baris dengan huruf Pallawa dan memakai bahasa Melayu Kuno. Secara garis besar, isi dari tulisan ini adalah tentang kutukan untuk mereka yang berbuat kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak mematuhi perintah dari datu.
Casparis lalu mengemukakan pendapat jika orang yang termasuk berbahaya dan juga bisa melawan kedatuan Sriwijaya perlu untuk disumpah yakni putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata (vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji).
Prasasti ini menjadi prasasti kutukan lengkap sebab juga dituliskan nama pejabat pemerintahan dan menurut dugaan beberapa ahli sejarah, orang yang terulis di dalam prasasti juga tinggal di Palembang yang merupakan ibukota kerajan.
Sedangkan Soekmono beranggapan jika tidak mungkin Sriwijaya berasal dari Palembang sebab adanya kutukan kepada siapa pun yang tidak patuh pada kedatuan dan juga mengusulkan Minanga seperti yang tertulis pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan berada di sekitar Candi Muara Tikus ibukota Sriwijaya.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang dicatat dalam sejarah Dinasti Tang dikatakan jika di abad ke-7, pantai Timur Sumatera Selatan sudah berdiri Kerajaan Sriwijaya atau She-li-fo-she dan sumber ini diperoleh dari 6 buah prasasti yang ditemukan tersebar di wilayah Sumatera bagian Selatan dan juga Pulau Bangka dan Belitung.
1.Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur yang merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan di Pulau Bangka bagian Barat yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno serta aksara Pallawa. Prasasti ini ditemukan oleh J.K Van der Meulen tahun 1892 dengan isi yang menceritakan tentang kutukan untuk orang yang berani melanggar titah atau pertintah dari kekuasaan Raja Sriwijaya.
Prasasti ini kemudian diteliti oleh H.Kern yang merupakan ahli epigrafi berkebangsaan Belanda yang bekerja di Bataviaasch Genootschap di Batavia. Awalnya ia beranggapan jika Sriwijaya merupakan nama dari seorang raja. George Coedes lalu mengungkapkan jika Sriwijaya adalah nama dari Kerajaan di Sumatera abad ke-7 Masehi yang mrupakan Kerajaan kuat dan pernah berkuasa di bagian Barat Nusantara, Semenanjung Malaya serta Thailand bagian Selatan.
Prasasti Kota Kapur Sriwijaya |
Dalam Prasasti ini juga dikatakan jika Sri Jayasana sudah melakukan ekspedisi militer yakni untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak mau tunduk dengan Sriwijaya. Peristiwa ini terjadi hampir bersamaan dengan runtuhnya Taruma di Jawa bagian Barat dan juga Kalingga atau Holing di daerah Jawa bagian Tengah yang kemungkinan terjadi karena serangan dari Sriwijaya. Sriwijaya berhasil tumbuh serta memegang kendali atas jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa serta Selat Karimata.
2. Prasasti Ligor
Prasasti Ligor ditemuan di Nakhon Si Thammarat, wilayah Thailand bagian Selatan yang memiliki pahatan di kedua sisinya. Pada bagian sisi pertama dinamakan Prasasti Ligor A atau manuskrip Viang Sa, sementara di sisi satunya merupakan Prasasti Ligor B yang kemungkinan besar dibuat oleh raja dari wangsa Sailendra yang menjelaskan tentang pemberian gelar Visnu Sesawarimadawimathana untuk Sri Maharaja.
Prasasti Ligor Sriwijaya |
3.Prasasti Palas Pasemah
Prasasti Palas Pasemah ditemukan di pinggir rawa Desa Palas Pasemah, Lampung Selatan, Lampung yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno aksara Pallawa dan terdiri dari 13 baris tulisan. Isi dari prasasti ini menjelaskan tentang kutukan dari orang yang tidak mau tunduk dengan kekuasaan Sriwijaya. Jika dilihat dari aksara, Prasasti Palas Pasemah ini diduga berasal dari abad ke-7 Masehi.
4.Prasasti Hujung Langit
Prasasti Hujung Langit merupakan Prasasti dari Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada sebuah desa bernama Desa Haur Kuning, Lampung dan juga ditulis dalam bahasa Melayu Kuno serta aksara Pallawa. Isi dari prasasti ini tidak terlalu jelas sebab kerusakan yang terjadi sudah cukup banyak, namun diperkirakan berasal dari tahun 997 Masehi dan isinya tentang pemberian tanah Sima.
5.Prasasti Telaga Batu
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya adalah prasasti telaga batu. Prasasti Telaga Batu ditemukan di kolam Telaga Biru, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Kota Palembang tahun 1935 yang berisi tentang kutukan untuk mereka yang berbuat jahat di kedautan Sriwijaya dan kini disimpan pada Museum Nasional Jakarta.
Di sekitar lokasi penemuan Prasasti Telaga Batu ini juga ditemukan Prasasti Telaga Batu 2 yang menceritakan tentang keberadaam sebuah vihara dan pada tahun sebelumnya juga ditemukan lebih dari 30 buah Prasasti Siddhayatra yang juga sudah disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahat di batu andesit dengan tinggi 118 cm serta lebar 148 cm.
Prasasti Telaga Batu |
Casparis lalu mengemukakan pendapat jika orang yang termasuk berbahaya dan juga bisa melawan kedatuan Sriwijaya perlu untuk disumpah yakni putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata (vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji).
Prasasti ini menjadi prasasti kutukan lengkap sebab juga dituliskan nama pejabat pemerintahan dan menurut dugaan beberapa ahli sejarah, orang yang terulis di dalam prasasti juga tinggal di Palembang yang merupakan ibukota kerajan.
Sedangkan Soekmono beranggapan jika tidak mungkin Sriwijaya berasal dari Palembang sebab adanya kutukan kepada siapa pun yang tidak patuh pada kedatuan dan juga mengusulkan Minanga seperti yang tertulis pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan berada di sekitar Candi Muara Tikus ibukota Sriwijaya.
||TOP||
0 komentar: